“Maukah
kamu bertemu denganku dimalam tahun baru nanti?” Email tanpa subjek itu menarik
perhatian. Aku melihat kembali nama si pengirim cuma tiga huruf Rio namun tiga
huruf itu sudah cukup membuat jantungku berdetak sepuluh kali lebih cepat.
“Arrgggh.!!”
Teriakku frustasi, jari-jariku menari-nari lebih tepatnya mencoret-coret dan
memberi tanda silang di atas tulisan yang satu paragraf pun belum selesai. Aku
menutup buku catatan dan menaruh pulpen ke dalamnya untuk ku lempar jauh-jauh
dari pandanganku.
“Bukk!!”
Buku dan pulpen tersebut kemudian jatuh di atas kasur. Sambil berguling-guling
aku menghampiri kasur, yah di kamar kost yang sempit dan kecil ini memang hanya
ada kasur dan sebuah meja kecil untuk menulis tidak cukup tempat tidur
menampung kasur sebagai alas sehingga kasur itu hanya bisa pasrah tergeletak di
atas lantai. Aku memijit-mijit kepalaku sambil bergumam “Ayo dong Danish, kamu
pasti bisa!”. Aku menyemangati diriku sendiri.
Oia,
kenalkan namaku Danisha, orang-orang memanggilku Sha sedangkan orangtuaku
memanggilku Cha karena dulu lidahku sulit melafalkan huruf s. Aku sendiri lebih
senang dipanggil Danish menurutku lebih keren lebih classy lebih enak didengar di telinga. Saat ini aku berprofesi
sebagai penulis cerpen lepas banting setir setelah berkali-kali gagal melamar
di berbagai perusahaan sebagai Analis. Terdengar keren bukan? Analis…Tapi bukan
Analis keuangan namun sesuatu berbau kimia atau biologi.
Perjuangan
untuk mendapat profesi tersebut sungguh tidak mudah mungkin sama seperti
seorang dokter namun profesi tersebut masih kurang dihargai di bumi tercinta
ini. Aahh.. kenapa jadi curhat begini, lebih baik aku memikirkan kembali
tulisanku. Memang bisa dibilang aku seorang penulis baru, entah atas dasar keberanian
apa aku melabeli diriku sendiri dengan penulis cerpen lepas, padahal selama ini
cerpen-cerpen yang aku tulis tidak lebih hanya jadi tumpukan buku usang yang
berakhir di tukang loak.
Beberapa
kali aku pernah mencoba mengirim cerpen ke salah satu media kemudian dibalas
dengan surat yang sangat sopan “Mohon maaf tulisan anda belum dapat dimuat di
majalah kami karena sekian.. sekian.. dan sekian”. Intinya sih tulisanku tidak
sesuai dengan tema majalah mereka. Ada yang terlalu muda, terlalu tua, tidak
menjunjung harkat wanita, tidak begini, tidak begitu dan sebagainya.
Hingga
suatu hari cerpenku diikutsertakan dalam buku antalogi Sepasang Sendal yang
Tertukar. Wah.. senangnya sungguh tidak terkira. Teman-teman pun memberi
selamat, seketika saat itu rasa percaya diriku meningkat 150 % sudah terbayang
di depan mata namaku akan disejajarkan dengan Raditya Dika, Dee Lestari atau
mungkin Andrea Hirata. Namun angan-angan tersebut kembali ku kubur dalam-dalam karena
penjualan buku antalogi Sepasang Sendal yang Tertukar mengalami kegagalan.
Masyarakat
umum tidak berminat sama sekali untuk membeli, hanya orang-orang tertentu yang
membeli buku antalogi tersebut seperti keluarga, teman, pacar hingga para
penulis buku antalogi sendiri yang membelinya kemudian membagi-bagikan kepada
teman-teman yang lain sebagai hadiah. Yang lebih menyakitkan lagi untukku
adalah aku mendengar selentingan kabar kalau sebenarnya cerpenku tidak layak
untuk dimasukkan ke dalam buku antalogi tersebut. Tapi karena kebaikan hati
seorang temanku maka dia memutuskan memasukkan cerpen karyaku.
Saat
itu rasanya ingin segera berhenti menulis, melabeli diri sendiri dengan cap
bodoh, tidak berbakat, tidak menyadari kemampuan dan sebagainya. Untungnya
perasaan seperti itu hanya sebentar dan aku kembali bangkit untuk menulis
dengan kekuatan bulan, hehehe.. bercanda, maksudku semua ini adalah proses
hanya butuh waktu dan usaha yang lebih keras lagi agar cerpenku layak untuk
dimuat di majalah-majalah.
****
Aku
kembali memijit kepala dan dahiku, seolah-olah meminta dengan sangat setidaknya
ada ide brilian yang muncul dari otakku. Tanganku bergerak mengambil buku
catatan, melihat outline yang telahku
buat. “Andi pria dingin yang menyimpan perasaan pada Nita namun Nita sendiri
menyukai Rio. Arrrghhhh.. terlalu umum!!”Ujarku kesal. Aku menaruh buku catatanku
di atas muka berharap dengan posisi tersebut aku bisa memunculkan tulisan yang
menarik. Aku menghela nafas panjang, sulit rasanya menulis cerita cinta yang
romantis dan dramatis jika aku sendiri tidak pernah mengalami kisah cinta, mm..
lebih tepatnya tidak ada yang menarik dari kisah cintaku.
Paling
lama aku menjalin sebuah hubungan satu
bulan ah, tidak-tidak dua bulan. Aku memutuskan untuk berteman karena bosan
dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku tidak penting seperti “Kamu dimana?
Sama siapa? Lagi apa? Udah makan apa belum? Makannya pake apa?” dan segudang
pertanyaan yang tidak penting sampai sangat-sangat tidak penting.
Suara
lembut Taylor Swift yang sedang menyanyikan lagu Safe and Sound dari Hp membuyarkan semua ide-ide yang berusaha ku susun bercampur
aduk dengan lamunanku. Tanganku meraih Hp yang tergeletak di lantai tak jauh dari
kasur. Aku menatap layar Hpku, tertulis one
miscall and one message. Jari jemariku menekan halus layar hp kekiri dan
kekanan kemudian muncul sebuah pesan “Sha, lagi apa? Kenapa telepon aku kok ga
diangkat? Hari ini kamu jadi ikutkan ngerayain tahun baruan di Taman Koleksi
IPB? Pokoknya kamu harus ikut awas kalau ngga!! Dara.”
“Kalau
suruh ikut ngapain juga masih nanya.” Gerutuku setelah membaca pesan dari Dara.
Aku pun membalas pesan Dara. “Ok” Aku pun menscroll kembali layar Hp ku ke bawah dan tiba-tiba mataku menangkap
pesan yang belum terbaca, ternyata dari Adit. Aku terdiam sesaat, ragu-ragu
akan membuka pesan singkat itu atau tidak. Akhirnya aku memberanikan diri
membuka pesan singkat itu. “Hi Sha, apakabar? Aku harap kamu baik-baik saja ya.
Aku disini juga dalam keadaan baik. Oia, udah lama banget ya kita ngga ngobrol
dan ketemuan. Nanti malam kita bisa ketemuan? Aku ingin kita bisa ngerayain
pergantian tahun baru 2013 ini sama-sama.”
Seketika
itu juga aku seperti membeku setelah membaca pesan dari Adit. Ok-ok aku bohong
kalau aku tidak pernah mengalami kisah cinta yang menarik, yah setidaknya yang
satu ini saat itu menarik untukku. Hanya saja aku tidak mau mengingat-ingat
kisah cinta dengan orang ini, kalau bisa waktu diputar kembali aku tidak ingin
mengenalnya tidak ingin menaruh harapan dan mimpi-mimpiku padanya. Aku hanya
berharap semua kenangan yang pernah terjadi antara aku dan dia bisa ku kubur
dalam-dalam serta kalau bisa tidak pernah terjadi. Aku meletakkan Hpku, memejamkan
mata dan menarik nafas dalam-dalam. Tanpa bisa ku tolak semua kenangan bersama Adit
datang kembali. Aku ingat awal perkenalan dengannya berbeda dengan pria yang
selama ini kukenal. Aku melihatnya duduk sambil membaca di Taman Koleksi IPB,
Bogor.
Suasana saat itu begitu teduh karena di Taman
Koleksi dipenuhi dengan pepohonan yang rindang serta bangku dan meja taman yang
terbuat dari batu, di samping taman banyak mahasiswa yang berjalan hilir-mudik
menuju kampus IPB. Selain itu Bogor memang dikenal dengan kota hujan sehingga
wajar saja hawanya cenderung dingin dan segar. Lalu apa menariknya jika seorang
pria membaca buku? Toh semua orang saat itu mau pria atau wanita yang sedang di
Taman Koleksi IPB kebanyakan memang melakukan aktifitas seperti membaca,
berdiskusi dengan teman atau sedang menunggu teman.
Kalau
begitu apa yang menarik dari Adit hingga aku memberanikan diri menghampirinya,
duduk dimana dia duduk? Aku benar-benar tidak tahu. Entah siapa yang memulai
kami pun berdiskusi tentang berbagai macam hal seolah-olah kami sudah mengenal
satu sama lain. Hingga ke tiga kalinya aku pergi ke Taman Koleksi ini, duduk di
kursi batu mengeluarkan buku-buku di atas meja dan menunggu kedatangan Adit
untuk membahas isi dari buku-buku tersebut. Aku ingat sekali saat itu buku
berjudul Negeri Lima Menara karangan A. Fuadi sedang popular sehingga aku
berniat membacanya.
“Negeri
Lima Menara.” Ucapan Adit menghentikanku sejenak dari kegiatan membacaku. Aku
tersenyum.
“Ia
ini bagus lo ceritanya. Kamu udah baca?”
“Belum,
memang apa ceritanya?”
“Buku
ini ceritanya tentang pengalaman A. Fuadi selama di pesantren dalam menuntut
ilmu, yang hebatnya walau di pesantren dia tetap bisa melanjutkan kuliah lo.
Dibuku ini juga menceritakan suka duka A. Fuadi selama di pesantren dan dari
pesantren lah dia mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan kuliah. Dia
mendapatkan kekuatan itu dari kata-kata Man
Jadda Wa Jadda, Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.”Ujarku
panjang lebar. Adit hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Eh..
kaya ceramah ya?”Tanyaku malu-malu. Senyum Adit makin melebar membuat aku salah
tingkah.
“Tapi,
di pesantren ilmu ikhlas tuh benar-benar dipergunain banget.”Ujar Adit.
“Oia?
Kamu pernah di pesantren?”
“Ngga
sih, kakakku yang pernah.”Ujar Adit sambil tersenyum tipis.
“Kok
kamu bisa bilang gitu, kan kamu sendiri bilang belum pernah?”Tanyaku heran.
“Ya
kan kakakku cerita. Jadi waktu itu ketika dia di pesantren dan masih jadi
santri baru, ustadz kakakku sering berkata belajarlah untuk ikhlas dalam hal
apapun. Nah pas mau sholat magrib kebetulan kakak lagi pake sendal bagus,
ditaruhlah sendal itu dengan rapi di rak sepatu. Ketika selesai sholat dan mau
pulang ngga taunya sendalnya udah tertukar dengan sendal jepit. Saat itu kakak
Cuma bisa istigfhar sambil ngomong mungkin ini kali ya maksudnya pak ustadz.”
Mendengar cerita tersebut mau tidak mau membuat aku tertawa dia pun juga
tertawa mungkin karena melihat cara tertawaku yang meriah.
Setelah
pertemuan ke-tiga, ke-empat dan seterusnya, tanpa sadar aku mulai merindukan
Adit. Merindukan diskusi-diskusi kami tentang buku, tentang berita, tentang
politik, masa kecil kami atau hal-hal yang terjadi disekitar kami. Tidak pernah
sekalipun Adit menanyakan hal-hal yang menurut ku membosankan seperti “Kamu
dimana? Sama siapa? Lagi apa? Udah makan apa belum? Makannya pake apa?”.
Mungkin karena hal itu aku tidak pernah bosan untuk berbicara dan berdiskusi
dengannya dan tanpa sadar Adit sudah begitu saja merasuk dalam hati dan pikiran
ku namun aku tidak tahu bagaimana perasaan dan pikiran Adit terhadap ku. Aku
terlalu malu untuk mengutarakan apalagi untuk menanyakan sebaliknya. Saat itu
aku merasa tidak lengkap jika aku tidak menceritakan peristiwa yang terjadi
hari itu atau permasalahan pada Adit. Berdiskusi panjang lebar dengannya untuk
menemukan solusi. Tanpa sadar aku begitu tergantung padanya.
****
“Assalammualaikum,
Shaaaaaa..”Terdengar suara Dara memanggil dari luar.
Tidak
lama dia pun mengetuk pintu. Aku menghentikan lamunanku, bangkit berdiri terdiam
sejenak kemudian membukakan pintu. Dara langsung menghambur ke dalam dan
menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Sejak jaman kuliah hingga berkerja ketika
Dara datang berkunjung ke kostanku, hal pertama yang menjadi tempat favoritnya
adalah kasur.
“Lama
amat, lagi ngapain sih?”
“Lagi
semedi nyari inspirasi.”ucapku sekenanya sambil duduk di samping Dara.
“Ooohh.. itu ya deadline buat cerpen fiksi.
Mana-mana coba aku mau lihat.”
“Belum
selesai.”Ujarku lagi.
“Tumben
belum selesai, aah.. aku tau pasti temanya yang paling ngga kamu sukai ya.”
“Dah
tau nanya.”Ujarku ketus.
“Kalau
kamu sulit menulis tentang kisah cinta, ya udah tulis aja kisah cinta aku sama
Darian. Aku mau kok jadi narasumber kamu.”Ujar Dara sambil mengedip-edipkan
matanya.
“Ga
mau, cerita kayak kamu tuh udah banyak. Suka-sukaan, telepon-teleponan,
pacaran. Terlalu umum.”
“Iiihh..
menghina, aku ga rela dibilangin kaya gitu sama orang yang lagi jomblo.”Ujar Dara sambil mencubit lenganku
namun dengan cepat aku menghindar.
“Ya
udah kalau ga mau nulis kisah tentang gw, fine!
Tulis aja kisah elo sama si Adit. Kisah cinta bertepuk sebelah tangan.” Tipikal
Dara, jika dia marah keluarlah kata gw elo dari mulutnya.
“Ok,
kalau gitu aku ga bisa nemenin kamu ke Taman Koleksi…” Belum sempat aku
menyelesaikan kalimatku Dara sudah memotong dengan kata-katanya.
“Jangaaan..
Cuma bercanda kok Sha.”Ujarnya sambil mengelus-elus lenganku seolah-olah
berusaha meredakan amarahku. Aku tersenyum kecil melihat kelakuan Dara
“Udahkan,
ga marah kan? Jadi sekarang siap-siap ya temenin aku ke Taman Koleksi.”
“Iya-iya,
aku mandi dulu ya.”
“Sip.
Oia, aku pinjam hp kamu ya buat main game.”
“Iya!!”Teriakku
dari balik pintu kamar mandi.
****
Sesekali
aku melihat jam tanganku, pukul 20.10 butuh waktu 3 jam 50 menit untuk sampai
ke pergantian tahun. Tak ada perubahan di Taman Koleksi ini masih ada
bangku-bangku dan meja batu, yang bertambah hanya sebuah kafe, lampion dan
lampu-lampu hias. Aku duduk di salah satu bangku berhadapan dengan bangku dan
meja yang biasa aku duduki bersama Adit untuk berdiskusi tentang segala hal.
Tanganku mengetuk-etuk kepalaku berusaha menghilangkan kenangan yang pernah
terjadi. Ah.. kenapa aku menuruti Dara untuk tidak membawa buku atau laptopku, kalau seperti ini aku
benar-benar bingung harus melakukan apa.
Aku
pikir Dara memaksaku menemaninya karena Darian tidak bisa hadir menemani Dara.
Tapi ternyata mereka sudah janjian untuk bertemu di tempat ini. Aku memperhatikan
Dara dan Darian yang sedang bercanda dan tertawa dengan teman-teman lainnya di
area luar kafe tidak jauh dari tempat ku duduk. Mereka terlihat bahagia. Ada
secercah rasa iri melihat kebahagian mereka, tanpa sadar aku mengeluh kenapa
cinta enggan menghampiri ku? Memangnya salah apa yang pernahku buat hingga
cinta itu tidak datang menghampiri. Aku hanya ingin cinta yang sederhana bukan
yang rumit dan berbelit-belit. Aku melihat Dara menghampiriku
“Sha,
Ayo ikut main kembang api.”Ajak Dara.
“Kamu
kan udah susah-susah datang kesini buat ngeluangin waktu, jadi kamu harus
menikmatinya.” Aku tersenyum mendengar perkataan Dara.
“Iya,
aku di sini dulu ya sebentar menghirup udara.”
“Jangan
kelamaan di bawah pohon yang ada kamu sesak napas saingan nyari udara.” Dara
mengingatkanku.
“Iya,
nanti aku nyusul ke sana. Tuh Darian nyariin kamu.”Ujarku. Dara menoleh dan
secepat kilat menghampiri Darian yang memang mencari Dara. Aku menghela napas
panjang, tiba-tiba terpikir kembali olehku naskah tentang cinta yang akan kutulis
tadi. Lebih baik aku menelepon temanku yang memberikan tawaran bahwa aku tidak
sanggup untuk menyelesaikan naskah tersebut. Baru saja jari-jemariku akan
menekan tombol call, sebuah suara
baritone yang khas mengagetkanku.
“Sha..”
kepalaku
seolah-seolah terlepas dari lehernya demi mendengar suara itu, suara yang aku
benci sekaligus aku rindukan. Aku membalikkan badan ku mengikuti arah datangnya
suara tersebut.
“Adit…”
“Kamu
ngga berubah ya Sha.”Ujar Adit sambil tersenyum.
Aku
dan Adit duduk di atas bangku batu berhadapan sama seperti dulu namun entah
kenapa kali ini aku merasa tidak nyaman
akan kehadiran Adit. Ada kesunyian yang panjang diantara kami, mungkin
masing-masing dari kami menunggu siapa yang akan berbicara lebih dahulu.
“Sebelumnya
aku mau berterima kasih sama kamu, karena kamu udah mau balas sms aku dan
mengizinkan aku datang kesini.”Ujar Adit.
Aku
mengangkat kepalaku dan menatapnya, Adit pun tersenyum melihat tatapanku. Aku
mengalihkan pandanganku, tanpa sengaja aku melihat Dara tersenyum sambil
mengacungkan ibu jarinya. Seketika aku menyadari siapa yang mengizinkannya
datang kemari.
“Aku
tidak pernah mengizinkan kamu untuk datang kesini, karena sms itu bukan dari
aku.” Mendengar kata-kataku seketika
wajah Adit berubah namun dia tetap memaksakan untuk tersenyum.
“Ga
masalah siapa yang mengirim sms itu, yang jelas aku bersyukur saat ini aku bisa
ada di depanmu.”
“Kalau
aku, aku tidak bisa mensyukuri pertemuan ini. Maaf aku pulang duluan.” “Tunggu
Sha, ku antar ya.”Adit mencoba berbaik hati.
“Ga
usah. Makasih.” Aku segera berlari meninggalkan Adit tanpa menghiraukan teriakan
Dara yang memanggil-manggilku.
****
“Sha..
Sha.. Kamu di kamar kan? Buka pintunya dong” Ujar Dara. Aku menutup kupingku
rapat-rapat dengan bantal, berpura-pura tidak mendengar panggilan Dara. “Sha..
“Kali ini Dara berteriak sambil menggedor-gedor pintu. Mau tidak mau aku
bangkit membuka pintu dan langsung menuju kasur, tidak mempedulikan Dara yang
sedang mengomel.
“Kok
kamu gitu sih, kayak anak kecil main kabur aja. Ga sopan tau.”Omel Dara. Aku
bangkit dari kasur dan menatap Dara lekat-lekat.
“Yang
ga sopan itu siapa? Aku atau Kamu?”
“Ok-ok,
aku akui aku ngebaca sms kamu sama Adit dan aku juga yang ngebalas sms dari
Adit. Tapi itu semua demi kebaikan kamu, aku ga tega lihat teman aku, sahabat
aku sedih terus-terusan apalagi ditahun baru ini.” Ujar Dara. Dia pun duduk
menghampiri dan memelukku.
“Aku
minta maaf ya, aku cuma benar-benar ga mau sahabat ku sedih aku cuma ingin
lihat kamu bahagia Sha.”
Aku
menghela napas “Iya, tapi jangan diulangin lagi ya.”
“Iya,
janji deh.” Dara berusaha meyakinkanku.
“Kamu
ga balik lagi ke Taman Koleksi? Acaranya pergantian tahun barunya 30 menit lagi
dimulai lo.” Aku berusaha mengingatkan Dara.
“Ga
papa, aku di sini aja deh nemenin kamu. Kita nonton drama korea!!”Ujar Dara
ceria. “Kalau kamu nonton di sini Darian gimana?”Tanyaku
“Udah
pulang pas nganterin aku ke sini. Kasian dia tadi salah makan, bandel sih
ngasih sambel ke bakwannya kebanyakan, akhirnya mules-mules. Ya udah aku suruh
dia pulang aja.” Aku ber-Oo ria mendengar penuturan panjang Dara. Aku melihat
Dara masih sibuk memilh drama korea yang akan kami tonton. Sambil memilih Dara
bertanya kepada ku. “Ngomong-ngomong.. Kamu kok tadi lari dari Adit. Memang
Adit ngomong apa sampai kamu lari kayak gitu?”
“Ga
ngomong apa-apa. Aku tiba-tiba mules sama kayak Darian.”Ujarku sambil tertawa.
Dara menatapku tak percaya dengan alasan yang ku utarakan padanya. Aku langsung
memeluknya erat-erat.
“Ya
udah, ga papa kalau kamu ga mau cerita sekarang. Aku selalu siap menanti 24 jam
kalau kamu udah siap cerita.”
“Kaya
suami siaga aja.” Kami berdua pun tertawa. Dalam tawa aku berkata pada Dara,
kenapa aku tidak pernah membalas sms Adit karena saat itu, ketika pertemuan
terakhir kami tanpa sengaja aku melihat Adit bersama dengan wanita dan seorang
anak bayi berumur 2 tahun. Aku bisa saja salah mengira, jika aku tidak bertanya
langsung pada wanita itu ketika Adit sedang membawa bayinya kekamar mandi.
“Permisi
mba, boleh saya foto?” Tanyaku berbasa-basi.
“Eh,
jangan nanti suami saya marah.”Ujarnya menolak.
Aku
pura-pura terkejut “Ah masa, semuda ini mba sudah bersuami? Ga kelihatan lo
mba.” Aku bertanya kembali memastikan kalau Adit memang suami dari wanita itu.
“Suaminya yang itu ya mba?” Aku berpura-pura menunjuk seorang pria berkemeja
lengan panjang dan bercelana jeans. Wanita itu menggeleng kemudian sambil menunjuk dia menjelaskan pada
ku kalau suaminya yang menggunakan jaket hijau dan sedang menggendong bayi. Aku
langsung paham dengan segera aku meninggalkan wanita itu. Mendengar penjelasan
ku Dara hanya bisa memeluk ku sambil menangis.
“Hayooo…
tuh kan bengong lagi.” Tegur Dara yang melihat ku terdiam kembali. Aku pun
tersenyum kecil sambil menatapnya.
“Udah
ga usah dipikirin si Adit itu. Aku bersyukur dia ga ngedapetin sahabat aku
Danisha, sahabat paling baik sedunia.” Aku kembali memeluk Dara erat-erat
“Muji
nih.. Pasti ada maunya.”
“Ga
lah, Dara kalau muji orang tulus sesuai kapasitas.” Kami tertawa bersama
kembali. Tiba-tiba Dara terdiam seperti teringat sesuatu
“Oia..
Mungkin kamu ga bisa buat cerita cinta karena ini kali Sha, karena kamu belum
benar-benar mengalami kisah cinta yang indah.”
“Mm..
Mungkin iya, mungkin ngga. Memangnya kamu bisa nulis kisah cinta yang indah?”
Tanyaku penasaran. Dara tampak berpikir lama sebelum akhirnya menjawab dengan
mantap
“Engga.
Aku ga akan bisa buat kisah cinta yang indah karena kisah cinta yang aku tulis
pasti yang aku inginkan saja. Tapi aku yakin kisah cinta yang Tuhan tuliskan
untukku pasti jauh lebih indah.”
Aku
tersenyum lebar mendengar ucapannya benar-benar tidak menyangka kata-kata itu
keluar dari Dara. Benar kata Dara mungkin aku tidak akan pernah bisa membuat
kisah cinta yang indah karena kisah cinta yang Tuhan tuliskan untukku akan jauh
lebih indah.
Berkunjung pertama kali, mak. Wah, ini ceritanya asik, bahasanya mengalir dan runut. Teruskan, mak. Ditunggu cerita2 selanjutnya
BalasHapusMakasih mak Mira bisa mampir, Ia masih proses belajar nih mak eyd masih banyak yg blm tepat. Semoga kedepannya bisa lebih baik lagi
BalasHapusbukan pengalaman pribadi kan? hanya cerpen kan? :)
BalasHapuskeliatan kaya pengalaman pribadi ya? mungkin di bawahnya harus ditulis based on true story, hehehe.. makasih ya mba sudah mampir.
HapusKadang sebuah cerita lbh menarik klo disisipkan kisah nyata dari penulisnya. Tulisan anda sungguh menarik.
BalasHapusWaahah...bagus tulisan cerpennya Yuuul....
BalasHapusditunggu cerpen berikutnya yaa...:)
Wah... Ga nyangka mba debby main k blog. Sering2 ya mba
Hapuscerpennya bagus :)
BalasHapusMakasih mba, mesti banyak belajar lagi biar lebih bagus :D
BalasHapusBTW BLOG NYA MAU DIBAWA KEMANA MBA, HARUS LEBIH SPESIFIK SEGMENNYA, KARNA SEPERTINYA SEMUA TUMPLEK BLAK ADA DI BLOG INI, HEHEHEHE....
BalasHapus